Jumat, 01 April 2011

Kontroversi Penggolongan Masyarakat Hindu di Bali


Sebagaimana seperti yang sudah kita ketahui bahwa tujuan hidup tertinggi yang hendaknya dicapai oleh umat hindu adalah moksa, dimana moksa merupakan alam keabadian, tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah kebahagiaan yang abadi. Untuk mencapai tujuan hidup itu harus dilakukan secara bertahap. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat dasar profesi yang digolongkan berdarkan bakat dan minat yang ada dalam diri seseorang. Empat jenis profesi yang didasarkan pada perbedaan bakat dan minat ini disebut dengan istilah Catur Warna. Dimana catur warna ini terdiri dari Brahmana (pendeta) , Ksatria (pelindung), Waisya(pedagang/petani) dan Sudra (pelayan). Catur Warna ini bersumber dari kitab suci Weda yang juga berarti bahwa catur warna adalah wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran yang mengubah system catur warna menjadi system kasta di India dan Wangsa di Bali yang jauh berbeda dengan konsep catur warna yang sesungguhnya. Penyimpangan pemahaman konsep catur warna ini tentunya akan sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun generasi Hindu kedepannya. Sebagai akibatnya banyak kasus yang timbul dan dampaknya benar-benar merusak citra agama Hindu yang merupakan agama tertua di dunia.
Di Negara India sendiri terdapat sebuah rumpunan orang dari bangsa Indo-Eropa yang masuk ke India melalui arah barat daya yang dikenal dengan sebutan Bangsa Arya. Bangsa Arya dikenal sebagai bangsa yang suka perang, bangsa arya ini mampu menaklukan bangsa India asli. Bangsa Arya hidup berpindah-pindah (nomaden) untuk mencari daerah yang subur. Untuk mempertahankan keberadaan masyarakatnya agar tetap mendominasi suku yang ditaklukannya maka bangsa arya ini mengembangkan sebuah sistem organisasi social dimana system organisasi social ini lebih dikenal dengan sebuatan Catur Warna. Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat dan ketrampilan seseorang, serta keahlian kerja yang dimiliki sebagai hasil dari  pendidikan yang diterimanya, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan juga didukung oleh ketangguhan dan kekuatannya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra. Catur warna di India ini terdiri atas empat lapisan masyrakat yang dimana tiap lapisan mempunyai fungsi dan karakteristiknya masing-masing.
 Empat lapisan catur warna tersebut yaitu terdiri dari yang pertama disebut golongan brahmana, brahmana atau pendeta merupakan kaum yang ahli di bidang keagamaan dan kaum ini juga merupakan kaum yang bertanggung jawab dalam melakukan upacara ritual-ritual keagamaaan. Kaum Brahamana adalah mereka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, mengerti tentang kitab suci, mengerti tentang ketuhanan dan juga ilmu pengetahuan. Para Brahmana ini memiliki kewajiban untuk mengajarkan ajaran ketuhanan dan ilmu pengetahuan ke masyarakat. Kaum Brahmana juga memiliki kewajiban sebagai penasehat pada kaum kesatria dalam melaksanakan roda pemerintahan.. Golongan kaum brahmana disimbulkan dengan warna putih, dimana golongan ini memiliki fungsi di dalam masyarakat yang setiap orangnya memfokuskan pengabdian dalam berkewajiban membantu dan member arahan di bidang kerohanian dan  keagamaan. Rsi, Pedanda, Pendeta, Pastur, Kyai dan tokoh-tokoh agama lainnya, Dokter, Ilmuwan, Guru dan profesi yang sejenis dapat digolongkan kedalam Warna Brahmana

 Lapisan catur warna yang kedua yaitu golongan ksatria atau bisa juga disebut golongan bangsawan atau priyayi. Golongan ksartria ini merupakan golongan yang harus memeperthankan penduduk dari serangan para musuh di medan tempur. Sesuai dengan namanya golongan ksatria haruslah menjadi ksatria penolong bagi para penduduknya. Kaum ksatria adalah mereka yang memiliki sikap pemberani, jujur, tangkas dan memiliki kemampuan mengatur atau memanager dalam dunia pemerintahan.. Golongan kaum ksatria disimbulkan dengan warna merah adalah golongan ini merupakan golongan yang memiliki fung di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidangi penting dalam masyarkat, seperti dibidang  kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Mereka yang masuk kedalam golongan warna Ksatria antara lain, presiden atau pemimpin negara, aparatur negara, prajurit atau angkatan bersenjata.
 Dan golongan catur warna yang ketiga disebut dengan istilah golongan waisya atau golongan masyarakat yang berprofesi sebagi petani dan pedagang. Golongan ini merupakan golongan yang menghasilkan bahan makanan dan golongan ini merupakan satu-satunya golongan yang harus membayar pajak. Kaum waisya adalah orang-orang yang memiliki keahlian dibidang berbisnis, bertani dan berbagai profesi lainnya yang bergerak dalam bidang ekonomi. Golongan kaum waisya ini disimbulkan dengan warna kuning,  golongan ini merupakan kaum  di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat seperti di bidang perekonomian, perindustrian, dan lain- lain. Contoh profesi yang termasuk dalam warna waisya ini adalah para pedagang, petani, nelayan, pengusaha, dan sejenisnya.
 Dan golongan catur warna pada lapisan yang terakhir dikenal dengan sebutan golongan sudra atau tepatnya ini adalah golongan para buruh. Golongan ini merupakan golongan yang sebelumnya merupakan budak taklukan, melayani kelas golongan-golongan lainnya dengan cara kerja keras. Kaum sudra adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan terbatas, sehingga mereka lebih cenderung bekerja dengan kekuatan fisik, bukan otak. Golongan kaum sudra ini disimbulkan dengan warna hitam. Golongan ini adalah kaum yang memiliki fungsi  di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Contoh profesi sudra adalah pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak dan sejenisnya.
Disamping keempat lapisan golongan catur warna ini, terdapat juga golongan yang tidak mempunyai kasta, dimana golongan ini telah kehilangan kastanya karena disebabkan oleh pelanggaran yang mereka lakukan dalam upacara ritual keagamaan. Kelompok yang tidak  memiliki karta seperti ini dikenal dengan sebutan golongan para paria. Bagi masyarakat yang berada posisi pada lapisan golongan paria ini berkerja diluar aturan empat lapisan kasta tersebut. Secara social, pekerjaan golongan masyarakat paria ini tidak diakui sebagai suatu pekerjaan yang diharapkan oleh masyarakat.
Warna seseorang ditentukan oleh ‘guna’ dan ‘karma’nya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan jenis warna seseorang adalah jenis profesinya bukan dari keturunannya. Sedangkan kata karma memiliki arti perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber warna Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber varna Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Waisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra. Warna seseorang tidak dilihat dari keturunannya. Misalnya warna Brahman seseorang tidak dilihat dari jenis warna ayah dan ibunya, meskipun ibunya ber warna brahmana belum tentu anaknya juga brahmana, itu tergantung dari minat dan profesi seseorang.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
Tatanan desa pakraman yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-10 Masehi, diperbaharui oleh Dang Hyang Nirartha menjadi sistem wangsa yang secara luas lebih dikenal sebagai sistem kasta. Dimana system ini dimaksudkan agar pemerintahan tetap berjalan dengan lancar. Sayangnya, hanya anggota tiga golongan pertama yang mendapat pengakuan dan perlakuan terhormat  dalam masyarakat, dengan sebutan Tri Wangsa. Penyimpangan yang dilakukan dalam sistem wangsa ini adalah penggolongan masyarakat didasarkan pada status kelahiran dan garis keturunan seseorang, bukan berdasarkan bakat, sifat, dan pekerjaan seseorang seperti pada konsep Catur Warna menurut Weda.
Penyimpangan tersebut terlihat pada fakta bahwa keluarga Dang Hyang Nirartha dan seluruh keturunannya diangkat menduduki golongan brahmana, keluarga Raja Dalem Batur Enggong beserta keturunannya mendapat status sebagai golongan ksatria, para arya atau senapati dan prajurit pengikut Dang Hyang Nirartha dari Majapahit menjadi para waisya, sedangkan para pemimpin kerajaan-kerajaan lain di Bali yang tunduk kepada Raja Dalem Batur Enggong menjadi diberi label sebagai golongan sudra. Diskriminasi terlihat jelas pada  para warga pemberontak yang merupakan penduduk asli Bali,  dianggap sebagai warga jaba atau diluar sistem kasta.
Konsep desa pakraman yang telah bejalan lama pada umat hindu di Bali pada masa itu, dibebani dengan sistem ”kasta”, dengan tujuan agar para raja bisa berkuasa lebih lama. Pakraman juga dibebani dengan tafsiran agama yang berbasiskan pada status kasta. Sehingga upacara-upacara keagamaan  yang dilakukan berubah menjadi ajang adu gengsi dan pamer status untuk menunjukkan kasta seseorang. Dalam masa itu Dang Hyang Nirartha dan Raja Dalem Batur Enggong mengeluarkan banyak babad dan purana yang mengatur tentang pelaksanaan upacara atau ritual bernafaskan kasta atau wangsa. Dalam babad-babad seperti itu disebutkan bahwa hanya para pedanda atau brahmana keturunan Dang Hyang Nirartha yang boleh menjadi pemimpin upacara keagamaan. Upacara-upacara agama ditandai dengan mempersembahkan sarana sesajen dan persembahan yang menelan biaya mahal. Semakin megah dan semakin banyak ragam sesajen yang disediakan, semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat.
Tradisi yadnya atau upacara keagamaan yang berdasarkan status kasta dan gaya kepemilikan individu atas tanah tersebut saat ini semakin menunjukkan sisi buruknya. Demi status kasta, untuk melaksanakan yadnya, masyarakat Bali terpaksa harus menjual tanahnya. Penjualan tanah sebagai aset kekayaan yang sangat penting itu sering berakibat terjadinya proses pemiskinan. Anehnya, para brahmana keturunan tersebut tidak pernah berupaya untuk melakukan perbaikanmterhadap penyimpangan ini. Sebagian dari mereka justru larut dan menikmati dalam budaya seperti itu. Sebab secara ekonomi, mereka para golongan brahmana mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan upacara besar-besaran. Hal ini terjadi, karena berbagai sarana upakara dan sesajen yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual harus dibeli dari para pedanda tersebut.
Upaya melestarikan sistem kasta tersebut juga masih terlihat dengan jelas dalam berbagai praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali pada zaman modern ini. Hal ini terlihat pada pelaksaan upacara-upacara keagamaan besar yang hanya boleh dipimpin oleh para pedanda atau pendeta yang disebut sebagai Tri Sadhaka. Tri Sadhaka adalah sebutan bagi para pendeta yang merupakan Pedanda sekte Siwa, Pedanda sekte Buda, dan Pedanda sekte Bujangga Wesnawa, yang bertugas memimpin rangkaian upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Dari berbagai sekte yang pernah berkembang di Bali, ketiga sekte inilah yang terbesar dan masih berpengaruh hingga kini. Menurut tradisi turun temurun, hanya para brahmana yang berasal dari tigawangsa inilah yang boleh memimpin upacara-upacara tersebut. Namun karena penetapan pendeta pemimpin upacara itu sangat bernuansa kasta, terjadilah upaya pelurusan yang dilakukan oleh generasi muda Hindu. Mereka menganggap, semua pendeta yang memenuhi syarat kesuciannya dapat memimpin upacara itu, tidak peduli kedudukan dan status sosialnya dalam masyarakat. Namun sampai sekarang hanya para pedanda dari Tri Wangsa saja yang dianggap sebagai pemimpin upacara yang sah, sedangkan pendeta dari soroh lain hanya dianggap membantu.  Penetapan siapa yang boleh menjadi pemimpin upacara dalam upacara-upacara di Pura di Bali seolah-olah menjadi penyakit kronis yang selalu mengundang pertengakaran umat Hindu di Bali setiap tahun. Sebagian komunitas umat yang menyadari penyimpangan yang terjadi dalam praktek keagamaan tersebut berupaya melakukan koreksi. Namun hal itu berakibat pada terjadinya perselisihan paham diantara komunitas-komunitas umat Hindu di Bali.
Masih adanya pengaruh sistem kasta hingga saat ini pada kehidupan umat Hindu di Bali, tercermin pada kasus terjadinya konflik pada tubuh lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) merupakan lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia yang bertugas mengayomi, membina dan memajukan umat Hindu Indonesia. Namun dalam perjalanannya sejak tahun 1959,   lembaga ini masih diwarnai oleh nuansa feodalisme dalam tubuh kepengurusannya. Beberapa posisi kepengurusan masih wajib diisi oleh parasulinggih yang merupakan keturunan dari Tri Wangsa.
Selain golongan kaum Tri Wangsa di bali terdapat pula istilah “soroh”. Soroh merupakan pengelompokan warga bali berdasarkan garis keturunan leluhurnya. Ada ratusan soroh dalam umat Hindu di Bali. Namun istilah soroh sering pula dipandang secara negatif sebagai pengelompokkan orang berdasarkan keturunan atau ikatan gen yang sesungguhnya merupakan perwujudan sistem kasta.
Terdapat pula istilah ‘sampradaya’ , mungkin istilah ini masih asing bagi beberapa orang. Sampradaya  adalah istilah untuk menyebut sebagian warga umat Hindu yang membentuk elompok studi spiritual dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama Hindu  yang praktek keagamaannya lebih menekankan  pada   pelaksanaan aspek-aspek spiritual. Ajaran-ajaran tersebut berkembang dan ditekuni oleh sebagian umat Hindu di Indonesia, sebagai hasil dari interaksi dan komunikasi sebagian generasi muda Hindu di Indonesia dengan komunitas-komunitas spiritual yang ada di India. Ajaran sampradaya-sampradaya tersebut umumnya lebih dekat dengan ajaran-ajaran weda yang sesungguhnya, dan tidak banyak dikaburkan dengan pengaruh adat-istiadat seperti yang terjadi pada agama Hindu Bali. Contoh-contoh sampradaya tersebut antara lain adalah Hare Krishna, Say Studi Group, Brahma Kumaris, Trancendental Meditation, Veerasaivisme, dan lain-lain. Secara alamiah, umat Hindu di Bali yang tergabung dalam berbagai soroh tidak menyukai keberadaan sampradaya-sampradaya tersebut. Hal ini terjadi karena mereka memiliki perbedaan penekan dalam menjalankan ajaran agamanya, yang satu lebih menekankan aspek spiritual, sedangkan yang lainnya lebih berkutat pada aspek ritual tanpa disertai upaya pemahaman filsafatnya. Tampak bahwa dalam berbagai sampradaya, terdapat upaya yang bersungguh-sungguh dalam memberikan pengetahuan rohani dan pendidikan nilai-nilai ajaran Veda kepada generasi muda Hindu khususnya, dan umat Hindu pada umumnya. Hasil dari kegiatan seperti itu adalah terciptanya generasi muda Hindu yang bertaqwa kepada Tuhan, memiliki budi pekerti yang luhur, dan bermoral tinggi. Namun demikian, kegiatan pendidikan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh berbagai sampradaya tersebut masih mendapat tentangan dari kalanganpedanda, sulinggih dan brahmana keturunan yang masih membanggakan dirinya sebagai keturunan tri wangsa.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa umat Hindu di Bali masih terperangkap pada konflik-konflik kepentingan dan kemelut antar kelompok. Selain itu, terdapat kecenderungan umat Hindu di Bali untuk mencari identitas diri mereka dengan cara menelusuri kembali garis keturunan para leluhurnya. Mereka kemudian membentuk soroh, gotra, atau pungkusan yang dalam prakteknya menjadikan warga soroh tertentu membanggakan leluhurnya yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari leluhur soroh yang lain.  Proses pembodohan umat juga masih dilakukan oleh golongan-golongan tertentu, misalnya dengan masih mempertahankan konsep Tri Sadhaka atau Tri Wangsa dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Ritual keagamaan dibuat sedemikian megah dan rumitnya dengan biaya yang mahal, tanpa disertai upaya penjelasan filosifi dan maknanya. Generasi muda Hindu yang mencoba melakukan perbaikan dan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, dengan mengajak kembali pada ajaran Weda, justru dituduh ingin “meng-India-kan” Bali. Konflik-konflik kepentingan tersebut yang terjadi secara berkepanjangan, bermuara pada terabaikannya kegiatan pembinaan dan pendidikan nilai-nilai religius umat Hindu di Indonesia
Sumber pemicu konflik-konflik kepentingan tersebut dapat dengan jelas ditelusuri kembali asal-usulnya. Yaitu sebagai akibat masih kuatnya warisan pengaruh sistem kasta, atau system wangsa yang diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-15 Masehi. Sistem wangsa tersebut berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses hilangnya komponen-komponen pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama Hindu kepada umat Hindu di Indonesia.
Sistem wangsa menganggap seseorang otomatis sebagai brahmana bila ia terlahir dalam keluarga brahmana. Padahal menurut konsep catur warna, seseorang disebut brahmana bukan karena kelahiran. Seseorang disebut brahmana bila ia memiliki sifat dan pekerjaan kebrahmanaan, yaitu samah (kedamaian), damah (mengendalikan diri), tapah (pertapaan), saucam (kesucian),  ksantih  (toleransi), arjavam (sifatkejujuran), jnanam (pengetahuan),vijnanam (kebijaksanaan), dan astikyam  (taat kepada prinsip keagamaan). Jelaslah bahwa pengakuan seseorang sebagai brahmana bukanlah tergantung pada kelahiran dan keturunannya, melainkan berdasarkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya.
Dalam prakteknya, sistem wangsa di Bali mengakui seseorang sebagai brahmana, kalau ia lahir dalam garis keturunan Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Asthapaka. Padahal, perilaku mereka seringkali tidak mencerminkan kesucian dan perilaku seorang brahmana. Hal ini sama dengan seorang anak yang terlahir dalam keluarga dokter otomatis dianggap sebagai dokter. Sudah barang tentu dibutuhkan latihan dan pendidikan yang benar untuk melihat apakah anak tersebut memang memiliki bakat untuk menjadi dokter. Dalam praktek kesehariannya, para brahmana keturunan tersebut justru memelihara kebiasaan berjudi dan menyabung ayam dalam komplek-komplek tempat persembahyangan umat Hindu. Mereka tidak memiliki pengetahuan agama Hindu yang benar.
Dalam sistem brahmana keturunan seperti itu, tidak ada lagi yang dapat diharapkan menjadi seorang guru spiritual dalam artian yang sesungguhnya. Karena dalam diri mereka tidak pernah terjadi pembelajaran ajaran-ajaran Weda, dan tidak pernah mempraktekkan ajaran-ajaran Weda tersebut secara tulus dalam keseharian mereka. Yang terjadi adalah upaya untuk mempertahankan posisi mereka di mata umat, dengan melakukan upaya-upaya pembodohan umat. Keadaan demikian yang berlangsung terus menerus di Bali, mengakibatkan terputusnya garis parampara Hindu di Bali.
Untuk mempertahankan sistem wangsa di Bali golongan brahmana keturunan berusaha menghalangi orang-orang muda Hindu yang ingin belajar Weda. Mereka menyebarkan paham bahwa Weda bersifat keramat, sakral, dan tidak boleh di baca oleh sembarangan orang. ”Sakaralisasi” Weda ala sistem wangsa tersebut sangat berbeda dengan pola pendidikan gurukula yang merupakan sistem pendidikan tradisional dalam kebudayaan Weda. Dalam kebudayaan Weda, sejak dini seseorang mulai diajarkan untuk mempelajari Weda, bahkan sejak usia lima tahun hingga usia lebih kurang dua puluh lima tahun, tergantung kepada kemampuan siswa tersebut. Dalam masa brahmacari seperti, seseorang dikirim ke rumah seorang guru atau guru spiritual untuk tinggal bersama mereka dan mempelajari Weda di bawah bimbingan orang-orang yang terpelajar dalam pengetahuan Weda. Mereka menjadi sisya (murid) dengan cara tinggal di asrama atau tempat pemondokan yang disediakan oleh gurunya. Oleh karena itulah, pola pendidikan seperti itu disebut gurukula. Dengan sistem wangsa seperti di Bali yang mengkeramatkan Weda, dapat dimengerti mengapa pendidikan tradisional agama Hindu di Indonesia menjadi tidak berfungsi hingga saat ini. Ini merupakan salah satu bukti lagi penyimpangan dari sifat seorang brahmana menurut Weda. Seseorang disebut brahmana sejati, bukan menurut garis kelahiran dan keturunan, bila ia terpelajar dan menguasai pengetahuan Weda, dan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengajarkan pengetahuan spiritual itu kepada masyarakat. Bila tidak demikian, ia tidak dapat diakui sebagai seorang brahmana, walaupun terlahir sebagai anak seorang brahmana.
Keberadaan sistem Wangsa dalam masyarakat Hindu di Bali untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Ini artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja. Itu artinya, sistem Wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan paradigma tinggi-rendah (tidak setara antarwangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra. Sistem Wangsa untuk membangun keakraban atau kerukunan famili, bukan untuk menentukan kasta atau warna seseorang. Umat dalam satu wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi, ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh.
 Sistem wangsa di Bali juga bertanggung jawab terhadap kurangnya kesadaran umat Hindu di Bali untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan agama Hindu di Indonesia. Terjadi persaingan antar golongan dalam upaya meraih pengakuan masyarakat terhadap status sosial mereka. Mereka lebih rela berlomba-lomba menyumbangkan dana untuk melaksanakan upacara-upacara adat atau pembangunan pura yang megah yang membutuhkan biaya tinggi. Menurut data statistik,  penduduk Bali memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi di seluruh Indonesia. Namun  besarnya pendapatan tersebut belum dibarengi dengan kesadaran untuk mengalokasikan dana guna pengembangan pendidikan bagi generasi muda Hindu.
Untuk mengembalikan system Catur Warna dalam masyarakat Hindu Indonesia (Bali) haruslah ditempuh langkah-langkah seperti umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal wangsanya.
Asalkan konsep Catur Warna ini bisa berjalan sesuai dengan Weda, maka banyak pengaruh positif yang akan diberikan. Contohnya di negara kita ini Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden dimana dalam Catur Warna tergolong dalam Ksatria, dan dibantu oleh beberapa mentri seperti mentri agama yang tergolong dalam kaum brahmana. Penduduk Indonesia adalah penduduk yang beragam, dan profesinya juga beragam ada yang berprofesi sebagai pedagang petani (waisya), dan ada juga yang berprofesi sebagai buruh seperti TKI yang dikirim keluar negeri (sudra). Bisa kita bayangkan bagaimana jika di negeri ini hanya ada presiden dan a mentri, siapa yang akan menanam padi? Dan jika semua orang di negri ini adalah para TKI dan petani siapa yang akan membela kita dari para musuh?. Jadi meskipun berbeda-beda warna semuanya akan berjalan baik asalkan dijalankan sesuai dengan ajaran weda. 

Tidak ada komentar: